KATA
PENGANTAR
Pertama-tama kami mengucapkan puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun laporan ini saya beri
judul “Etik Kristen”.dalam
penyusunan makalah ini banyak kendala yang saya jumpai, namun dengan adanya
bimbingan dari dosen pembimbing serta guru program diklat etika kristen dan
bantuan dari rekan saya, maka proses penyusunan dan pembuatan makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu .
Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima
kasih yang mana di tujukan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
dorongan sehingga memperlancar penyusunan makalah ini.
Harapan kami semoga penulisan tugas Makalah ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan Pendidikan Agama Kristen khususnya. Serta
bagi semua pihak yang memerlukan tambahan ilmu di dalam Penjelasan tentang “Etika
Kristen”
Penyusun
Kelompok I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................
i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.
Pengertian
Etika Kristen.......................................................................... 2
B.
Yesus
Kristus Sebagai pusat Etika Kristen.............................................. 5
1.
Pandangan
Etika Kristen tentang Manusia........................................ 5
2. Pandangan
etika Kristen tentang penebusan melalui karya Kristus... 7
C.
Ajaran
Yesus Kristus dan Hidup Baru.................................................... 10
BAB III PENUTUP........................................................................................... 14
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 14
3.2 Saran.............................................................................................................. 14
DAFTAR ISI...................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penulisan
makalah ini agar mahasiswa Pendidikan Agama Kristen dapat memahami dan
menghayati pengertian Etika Kristen, melalui pemahaman dan penghayatan tersebut
diharapkan mahasiswa dapat berprilaku sesuai dengan norma-norma yang sesuai
dengan ajaran kristen.
Etika kristen sebagai ilmu mempunyai
fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yakni petunjuk dan penuntun
tentang bagaiman manusia pribadi dan kelompok harus mengambil keputusan tentang
apa yang seharusnya berdasarkan kehendak dan Firman Tuhan. Etika kristen adalah
ilmu yang meneliti,menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan
memakai norma kehendak dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus
Kristus.
1.2 Rumusan masalah
Permasalahan
yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini berkaitan tentang dengan Etika
Kristen bagian umum, antara lain : 1Pengertian Etika kristen (titik
tolak etika kristen pernan hukum dalam etika kristen), 2Yesus
sebagai pusat Etika Kristen,3Ajaran Yesus Kristus dan hidup baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Etika Kristen
Etika Kristen
berpangkalkan kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus
Kristus. Allah Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta
langit dan bumi, yang menciptakan dunia dan segala yang ada di dalamnya, yang
menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya, yang melaksanakan rencanaNya
mengenai dunia dan manusia, “dengan tangan yang terkekang”. Titik pangkal
inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.
Pandangan tentang
manusia menurut agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan dalam
arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai
individu yang bertanggung jawab kepada Allah, menjadi tidak tempat
kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam agama-agama primitif itu tidak
dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan manusia
mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam hukum
kodrat, sebagai tata tertib kosmis. Ketiga, dalam agama-agama primitif, Etika
tidak dapat tampil ke depan, karena agama-agama primitif itu tidak dapat
menerima pertentangan-pertentangan yang mutlak.
Pandangan tentang
manusia menurut agama Hindu adalah atman dan pada hakikatnya “atman” itu ialah
Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi dan dan tidak mempunyai
tanggung jawab perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya (ketidaktahuan),
manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu kenyataan. Agama
Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena itulah tak
dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut gambar Allah. Agama
Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya. Dan dengan
demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang sesungguhnya.
Pandangan tentang manusia menurut
agama Buddha adalah suatu “nama rupa”, artinya ia terdiri dari “nama” (roh) dan
“rupa” (tubuh) di dalam kehidupan psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu
“kenyataan” yang tetap. Di dalam agama Buddha, Allah tidak diakui sebagai
Pencipta. Agama Buddha tidak mengakui bahwa manusia dijadikan menurut gambar
Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya merupakan suatu cara untuk meluputkan
diri dari segala macam Etika. Menurut agama Buddha, kehidupan manusia itu
berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan. Dan sejarah pun tidak
ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama Buddha ialah:
meleburnya kehidupan. Kata terakhir di dalam Injil ialah: penyelamatan dari
dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan dengan Allah.
Menurut Kalam (dogmatika) Islam.
Kedudukan manusia di dalam alam kejadian mendapat perhatian besar di dalam
dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui Allah sebagai Pencipta. Di dalam
agama Islam tidak terdapat hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana terdapat
dalam Alkitab, bila mengatakan tentang hubungan antara Allah dan manusia. Tidak
disebutkan pula tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Oleh
karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian antara Allah
dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai sekutu Allah, di mana manusia
dipanggil kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan
yang relatif secara makhluk. Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga
sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung jawab etis manusia tidak
kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung jawab
etis manusia tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah:
karena kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di
dalam Alkitab, Allah yang diakui oleh Alkitab itu adalah juga kedaulatan
kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya. Kedua, tanggung jawab etis
manusia tidak tampak dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat bagi
pengertian, yang di dalam ajaran iman Kristen disebut “Pemeliharaan oleh Allah”
(providential), Agama Islam hanya menganggap bahwa ada satu hubungan saja
antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya, yakni hubungan antara khalik dan makhluk.
Dalam pandangan tentang manusia menurut
agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini, yakni Allah Bapa, dan
tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah
salah satu sebab dari kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam,
Etika tidak pernah mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan Fiqh.
Pandangan evolusi biologis tentang
manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang menyusui yang
cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung menurut proses evolusi, dari tingkat
yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini menyangkal Allah dan
pernyataan-Nya. Di sini “penyelidikan ilmiah” dijadikan ukuran untuk menentukan
yang baik dan jahat. Lagi pula di sini “penyelidikan ilmiah” itu terbatas
kepada penyelidikan biologios, secara kimiawi dan fisik- seakan-akan manusia
hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis.
Pandangan manusia menurut komunisme
adalah “makhluk biologis ekonomis”. Sebagai makhluk biologis, ia pun “binatang
menyusui yang cerdas”. Atas dasar pandangan tentang manusia ini, materialisme
dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila.
Etiak materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan
di tengah masyarakat dan berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.
Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat
kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia, “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam Perjanjian
Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah ( 2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah
dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan
kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2 Kor 3:18;
Kol 3:10).
Bagaimanakah arti berita tentang
manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang manusia ini bagi Etika?
1. Manusia itu makhluk dan akan tetap
menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia bukanlah Allah dan manusia juga
tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada “analogi entis”
(persamaan zat) antara manusia dan Allah.
2. Manusia dijadikan sebagai makhluk
somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk manusia (di dalam bahasa
Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama) dan menghembuskan nafas kehidupan
(nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7).
3. Hubungan Allah-manusia dan
manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang manusia yang dijadikan
menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu pokok masalah
Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang diberikan Allah
kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-Nya?
4. Akhirnya dalam hubungan ini harus
ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia itu berbakti secara
sukarela. Allah memberiukan kebebasan memilih kepadanya. Kedaulatan ilahi itu
diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu
termasuk hakikat manusia dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata
kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang diberikan
oleh Allah kepada manusia.
Beberapa
catatan tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan diterangkan secara khusus di
bawah ini.
a. Asalnya dosa
Di
dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya
terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut.
Menurut
agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus
dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta
karena ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai
kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak ada. Pandangan agama
Buddha mencari asalnya kejahatan di dalam “tanha”, nafsu, keinginan, yang
menggerakkan prioses Bhava. Dalam pandangan evolusi biologis, asalnya kejahatan
itu dicari pada berasalnya kita dari binatang. Menurut pandangan ini, kita
masih mempunyai sisa-sisa sifat yang buruk dari keturunan yang rendah. Tetapi
lambat laun kita akan mengatasi sisa-sisa kejahatan ini dalam pertumbuhan ke
taraf yang lebih tinggi. Pandangan tentang dunia yang dialektis materialis
mencari asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social
ekonomi berubah, maka manusia pun berubahlah.
Menurut
Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia,
tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena
kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian
ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti
Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga sejak itu dosa keluar dari iblis dan
manusia bersama-sama.
b. Hakikat dosa
Apakah hakikat dosa itu?. Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata
dalam bahasa Yunani hamartia (di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta).
Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari
tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya, begitulah pula
manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu
diterjemahkan dengan dosa.
Pandangan Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak
dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti manusia, di dalam hatinya, di
dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ diserang oleh
kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan
meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun
disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.
B. Yesus Kristus sebagai Pusat Etika
Kristen
Di atas telah dikemukakan
bahwa etika Kristen berpusat pada diri dan karya Tuhan Yesus Kristus. Mengapa
demikian? Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Anak
Allah yang datang ke dunia, mengorbankan diri -Nya di atas kayu salib,
menggantikan manusia menerima kutuk Allah, mati dan bangkit dari antara orang
mati mengalahkan kuasa dosa dan maut. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi
manusia. Dialah satu-satunya manusia yang dapat memenuhi semua tuntutan dari
Allah yang telah dinyatakan melalui firman-Nya. Maka semua nilai etik harus
diukur dari pribadi dan karya Kristus itu. Untuk itu, maka perlu dipahami arti
dan makna karya Kristus itu, untuk mengerti isi etika Kristen. Untuk itu,
pertama-tama kita akan meninjau pandangan etika Kristen tentang manusia.
1.
Pandangan
Etika Kristen tentang Manusia
Untuk
dapat memahami arti dalam makna Karya Kristen, maka terlebih dahulu kita perlu
mengerti siapakah manusia menurut pandangan etika Kristen? Mengapa manusia?
Oleh karena manusia adalah subjek terhadap siapa Allah berhadap-hadapan dan
yang menjadi pelaku yang disebut etika. Ada baiknya sepintas lalu kita memahami
manusia yang disaksikan oleh Alkitab.
a. Manusia adalah mahkota ciptaan.
Dalam
Kejadian pasal 1, khususnya ayat 27 dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia
menurut gambar Allah. Pernyataan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar
Allah (Ibrani: tselem) dan seperti rupa Allah (Ibrani: demut) maka
ini mengandung arti ya). Bahwa manusia adalah makhluk dan bukan Allah ng sangat
luas.
1).
Bahwa manusia adalah makhluk dan bukan Allah. Istilah gambar Allah, tidak
menunjukkan adanya kesamaan zat antara Allah dan manusia. Maka manusia harus
patuh dan taat kepada Allah.
2).
Walaupun ia makhluk, manusia diciptakan sebagai makhluk berjiwa-raga
(somatis-psikis). Allah membentuk manusia dari tanah (Ibrani: adamah) tetapi
kepadanya dihembuskan Roh dari Allah memberinya nafas kehidupan (nismat
hajjim). Di sini tercermin adanya hubungan yang khusus antara Allah dan
manusia.
3).
Hubungan antara Allah dan manusia dan manusia dengan Allah itulah yang
dinyatakan dengan ungkapan gambar Allah. Hal itu mengandung dua makna, yaitu
manusia diberi tanggung jawab sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggung
jawab.
Gambar Allah mengandung pula arti bahwa
manusia adalah pemegang mandat Allah di bumi. Manusia adalah wakil Allah di
bumi. Di sini kita melihat bahwa manusia hidup di dalam persekutuan yang baik
dengan Allah. Dalam arti itulah kita berbicara tentang etika. Yaitu bahwa
manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya manusia
memperlihatkan tingkah lakunya. Juga dalam melaksanakan tanggung jawabnya
terhadap makhluk-makhluk lainnya.
4).
Gambar Allah juga mengungkapkan kebebasan memilih yang diberikan kepada
manusia. Manusia bebas untuk berbakti secara sukarela kepada Allah. Di sini
juga arti kata etika menjadi relevan. Manusia bebas memilih jalan hidupnya
sesuai dengan kehendak hatinya. Kepatuhan yang bebas itulah yang diminta Allah
dari manusia. Bukan kepatuhan karena paksaan.
b. Manusia sebagai makhluk berdosa
Kejadian 3 menjelaskan kepada kita bahwa tanggung jawab dan kebebasan
yang diberikan Allah kepada manusia ternyata disalah gunakan. Manusia yang
dibujuk oleh Iblis memilih untuk lebih mendengar bujukan itu daripada
mendengar firman Allah. Memang dalam hal itu manusia tidak mengambil inisiatif
untuk melanggar perintah Allah, la dibujuk. Ia pasif, ia digoda dan disilaukan
matanya. Tetapi ia menyatakan ya terhadap bujukan itu. Sebab ia ingin menjadi
sama seperti Allah. Ia ingin menyangkali hakikatnya sebagai makhluk dan
menyerah kalah kepada iblis. Daripada menjadi gambar Allah, manusia lebih suka
menjadi sama seperti Allah. Ia ingin memutuskan sendiri pada yang baik dan apa
yang jahat. Ia mencurigai Allah dan tidak percaya kepada Allah. Ia juga tidak
percaya kepada tujuan Allah menciptakan ia. Dengan kata lain manusia
memberontak kepada Allah dan ingin hidup di luar tujuan yang telah ditetapkan
Allah sendiri. Ia ingin menciptakan kebenarannya sendiri.
Dosa dalam bahasa Ibrani disebut chet
atau chatta. Dalam bahasa Yunani disebut Amartia. Amartia
berarti luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari tujuan). Benar,
manusia menyeleweng dari tujuan ia diciptakan Allah. Di dalam keadaannya yang
berdosa itu manusia tidak hanya dikuasai oleh dosa tapi juga oleh maut. Manusia
tidak hanya mengalami kehancuran moral (Yunani: asebeia), ia juga
mengalami ketiadaan hukum (anomia). Itulah ungkapan situasi manusia yang
berdosa. Ia tidak hanya kehilangan kebenaran Allah, ia pun memutar balikkan
kebenaran menjadi kefasikan, menindas kebenaran menjadi kelaliman (Roma 2:18 -
32; 3;9 - 19). Dalam situasi itu manusia tidak dapat melepaskan dirinya
sendiri. Semakin ia berusaha, semakin ia terjerumus ke dalam dosa.
2. Pandangan etika Kristen tentang
penebusan melalui karya Kristus
Dosa menyebabkan manusia kehilangan
gambar Allah. Artinya manusia putus hubungan dengan Allah. Manusia tidak dapat
menolong dirinya sendiri. Sebab itu, Allah sendiri, oleh karena kasih-Nya,
datang menebus manusia dari kuasa dosa. Hal ini dilakukan Allah melalui dan di
dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus disebut gambar Allah (II Korintus 4:4;
Kol. 1:15) dan barang siapa percaya kepada-Nya ia ciptakan kembali menjadi
gambar Allah (I Korintus 15:49; II Korintus 3:18; Kolose 3:10). Pemulihan
manusia dalam Yesus Kristus itulah yang kita sebut penciptaan baru. Dan itu
terjadi bukan dengan usaha manusia melainkan anugerah Allah, kasih Allah (Yohanes
3:16). Hanya oleh karya penebusan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus di
kayu salib, manusia tidak lagi dikuasai dosa. Apakah arti penebusan itu dalam
etika Kristus?
a.
Pembenaran.
Melalui pengorbanan Yesus Kristus,
manusia dibenarkan di hadapan Allah. Pembenaran itu berhubungan dengan iman.
Maka arti pembenaran tidak bisa dipisahkan dengan iman. Manusia dianggap benar
kalau ia percaya pada kasih Allah yang menyelamatkan (Latin: Justificatio
sola fide). Melalui pengorbanan Kristus, Allah membenarkah orang durhaka
(Roma 4:5) dan pembenaran itu diperhitungkan karena iman kepada anugerah Allah
itu. Baca seterusnya Roma 3 : 21-30). Proses pembenaran itu, tidak hanya nyata
melalui salib, tetapi juga telah nyata dalam pekerjaan Kristus ketika ia masih
hidup la mengampuni dosa orang yang percaya kepada-Nya (lihat misalnya Lewi,
Lukas 5 : 27-32; Zakheus, Lukas 19:1-8; dan perempuan berzinah, Yohanes 8 :
1-11). Banyak contoh lain dalam Perjanjian Baru yang mengungkapkan pekerjaan
Kristus yang membaharui hidup orang yang percaya kepada-Nya dengan pengampunan
dosa. "Imanmu menyelamatkan engkau". "Imanmu menyembuhkan
engkau" dan sebagainya. Maka pembenaran itu pertama-tama adalah anugerah
Allah (sola gratia, Roma 1 : 16-17; Epesus 2:8; Filipi 2.: 12-13) melalui iman
kepada Yesus Kristus (sola fide).
b.
Pengudusan.
Pengorbanan Kristus, tidak hanya membuat
orang beriman dibenarkan atau dianggap benar, tetapi juga dikuduskan (Latin: sanctificatio).
Pengudusan tidak dipisahkan dari pembenaran. Di dalam pembenaran Tuhan
mengubah kedudukan hukum manusia. Keadilan Allah menuntut bahwa manusia berdosa
harus dihukum mati (Kejadian 3:19), namun oleh kasih-Nya yang nyata dalam
Kristus, Hukum itu telah ditimpakan kepada Kristus, supaya orang berdosa
dibenarkan (Roma 5) yang sekaligus mengundang pengudusan (I Korintus 1:30).
Sama seperti pembenaran yang berarti dianggap benar karena percaya kepada Yesus
Kristus, demikian pula kesucian berarti kita dianggap suci atau kudus karena
iman kita kepada pengudusan Kristus. Yesus sendiri mengatakan kepada
murid-murid-Nya bahwa kamu memang telah bersih (suci, kudus) karena Firman yang
telah kukatakan kepadamu (Yohanes 15:3), tetapi pengudusan itu sendiri terjadi
melalui pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Darah Kristus yang dicurahkan
adalah simbol dan materi dari kekudusan orang percaya (I Petrus 1 : 18-23).
Pengudusan yang dilakukan Kristus di atas salib, diteruskan oleh Roh kudus yang
bekerja dalam hati manusia untuk terus membaharui dan menguduskan orang
percaya. Maka sama seperti kebenaran itu dapat diusahakan sendiri oleh manusia,
demikianlah pengudusan itu merupakan anugerah Allah. Manusia pada hakikatnya
ce'mar dan berdosa, tetapi dikuduskan oleh Allah karena karya Kristus dan
melalui pekerjaan Roh Kudus.
Konsep kekudusan dalam etika
Kristus tidak dapat dilepaskan dari pengorbanan Yesus Kristus. Kehidupan Yesus
Kristus dibaktikan kepada Allah tanpa cacat cela dan oleh sebab itu Ia dapat
disebut sebagai personifikasi kekudusan. Di Golgota la mempersembahkan korban
kudus hidup-Nya untuk mendamaikan orang-orang yang berdosa dan najis dengan
Allah, yaitu melalui pertumpahan darah-Nya. Kekudusan sama sekali tidak
merupakan hasil karya orang-orang yang beritikad baik, melainkan hadiah yang
dilimpahkan oleh Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Maka kekudusan itu
tidak dipahami dalam arti kekudusan pribadi melainkan kekudusan dalam arti
persekutuan orang-orang percaya. Dalam persekutuan itu setiap orang mengambil
bagian melalui pergaulan mempraktekkan hidup yang telah diteladankan dan
diajarkan oleh Yesus Kristus.
Jadi kekudusan itu tidak melekat
pada diri manusia melainkan pada Allah. Kekudusan orang percaya, dengan
demikian, hanya dapat dipahami dan dan dialami dalam persekutuan dengan Allah
sendiri . Orang yang percaya kepada-Nya diperhitungkan sebagai kudus kalau ia
hidup taat dan setia kepada-Nya melalui seluruh hidupnya.
c.
Kesempurnaan.
Selain kekudusan, dalam etika Kristen
diyakini pula bahwa pengorbanan Yesus Kristus juga memberi kesempurnaan (Latin:
perfectio). Perbedaan kekudusan dan kesempurnaan dijelaskan sebagai
berikut. Kekudusan mengar.dung arti negatif yaitu terpisah dari atau lepas dari
dosa atau kenajisan. Sedangkan kesempurnaannya mengandung arti positif yang berati
tidak ada lagi dosa. Jadi sempurna berarti baik seutuhnya atau baik seluruhnya.
Dalam etika Kristen diyakini bahwa hanya Allah yang sempurna. Namun Yesus
Kristus dalam pengorbanannya juga membawa dampak penyempurnaan bagi hidup
manusia. Ia mengajarkan: "haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapakmu
yang di surga adalah sempurna" (Matius 5:48). Kesempurnaan itu tentu saja
juga pemberian Allah. Manusia dianggap sempurna apabila ia sungguh-sungguh
dengan segenap hati, jiwa dan seluruh hidupnya kepada Allah (Baca Roma 12:1).
Kesempurnaan itu, sama seperti kekudusan, hanya dapat dipahami dalam hubungan
dengan Allah atau dalam persekutuan dengan Allah (Kolose 3:14). Manusia tidak
mungkin dapat mengusahakan sendiri kesempurnaannya. Ia dianggap sempurna oleh Allah
dengan menyerahkan hidup seutuhnya kepada Allah dan dinyatakan melalui hidupnya
setiap saat. Penyempurnaan itu bukanlah hasil karya manusia melainkan karunia
Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus dan yang dikerjakan dalam hidup manusia
oleh Roh Kudus.
Jelaslah kiranya landasan
etika Kristen dalam diri Yesus Kristus yaitu melalui pengorbanan diri-Nya di
atas kayu salib. Sekarang menjadi pertanyaan, bagaimanakah hal itu dilakukan
dalam praktek kehidupan kesusilaan? Pekerjaan Allah menuntut respon atau
tanggapan manusia. Tanggapan itu dinyatakan dalam iman. Dan iman itu diwujudkan
dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah dan buah penyerahan itu adalah hidup
sesuai dengan teladan dan ajaran Yesus Kristus. Maka baiklah kita meninjau ajaran
Yesus Kristus yang sesuai dengan karya dan teladan-Nya bagi orang percaya.
C. Ajaran Yesus Kristus dan Hidup
Baru
Ajaran Yesus Kristus tidak berdiri
sendiri. Ajaran-ajarannya sejalan dengan karya dan pengorbanan-Nya sebagaimana
telah dikemukakan di atas. Juga sejalan dengan teladan yang la berikan melalui
hidup-Nya yaitu cinta kasih dan keadilan. Di atas salib, cinta dan keadilan
Allah bertemu. Di sana la menyatakan kasih-Nya yang tak terbatas kepada manusia
dan sekaligus. la juga menyatakan keadilan-Nya dengan melaksanakan hukuman
terhadap manusia berdosa, dan itu diletakkan di atas pundak Kristus. Dalam seluruh
hidup-Nya, Yesus mempraktekkan apa yang la lakukan di atas salib. Mengasihi
sesama manusia dan menegakkan keadilan di antara manusia. Dan apa yang
dilakukan-Nya, diajarkan-Nya juga supaya orang yang percaya kepada-Nya hidup
dari rahmat Allah, yang secara sempurna telah terjelma dalam diri-Nya.
Berikut ini akan
dibahas tiga Inti ajaran Yesus, tapi yang merangkum juga kelembutan, kemurahan
hati, damai dan sejahtera dan ajaran-ajaran lainnya. Hal-hal yang disebutkan
belakangan itu dapat juga disebut sebagai bagian dari ketiga ajaran inti Yesus
itu.
1.
Kaidah
Emas (golden Rule). Ada dua rumusan kaidah
emas. Yang negatif berbunyi : "Apa yang kamu tidak kehendaki orang berbuat
kepadamu, janganlah kamu perbuat kepada orang-orang lain". Rumusan negatif
ini diajarkan oleh hampir semua agama: Khususnya Yudaisme, Hinduisme, Bhudisme,
Konfusionisme dan Iain-lain. Tetapi ajaran Yesus dirumuskan-Nya dalam kalimat
positif: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12; Lukas
6:31). Rumusan positif ini memberi makna yang lebih luas daripada rumusan
negatif. Dalam rumusan negatif hanya ada tuntutan minimum etis dalam
masyarakat. Sedangkan rumusan Yesus mengandung maksimum etis. Rumusan itu
mencakup norma hubungan antara individu maupun antarkelompok, antar suku, antar
ras, antar-golongan dan seterusnya. Maka kaidah emas itu tidak hanya
diperlakukan dalam hubungan pribadi tapi dalam seluruh hubungan manusia:
ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Kaidah emas itu mendasarkan aktivitas
orang Kristen dalam setiap situasi yakni sebagai aktivitas kasih dan keadilan.
2. Keadilan. Keadilan (Yunani:
Dikaisune, Latin: iustitia) juga merupakan asas etika yang
terdapat dalam hampir semua agama dan bahkan filsafat. Tetapi keadilan yang
diajarkan Yesus (dikaisune) mempunyai arti yang universal dan tidak
pertama-tama ditujukan pada diri sendiri tapi pada orang lain, khususnya kaum
tertindas. Sebab itu keadilan yang diajarkan Yesus tidak dapat dilepaskan dari
aspek kebenaran (Baca misalnya Matius 5:6,10; 6:33). Di situ keadilan Kerajaan
Allah berarti pemberlakuan kebenaran, khususnya kepada kaum tertindas. Dalam
seluruh hidupnya, kelompok inilah yang paling diperhatikan Yesus (Lukas 4,
Matius 25 dan Iain-lain). Keadilan yang diajarkan Yesus dirumuskan sebagai
keadilan yang memulihkan hukum yakni keadilan yang bersifat menolong,
menyelamatkan dan memberi pembaharuan.
3.
Kasih.
(Yunani: Agape, Latin: caritas).
Kasih yang diajarkan Yesus adalah kasih yang tidak terbatas (Matius
5:43-46) yang meliputi baik kawan, maupun lawan. Kasih agape itu, adalah kasih
Allah yang mengampuni dan menerima kembali. Kasih yang tidak memilih bulu dan
tidak pamrih. Seperti Allah mengasihi manusia berdosa, demikianlah kasih itu
dilakukan tanpa pamrih, tanpa menuntut balas atau tanpa terbatas pada kalangan
sendiri (keluarga, teman dan golongan). Kasih yang diajarkan Yesus adalah kasih
kepada Allah dan kepada sesama manusia (Matius 22:37 - 40) tanpa syarat-syarat
tertentu. Kasih merupakan pengejawantahan dari hidup yang telah ditebus Allah.
Kasih, merupakan penggenapan dari kaidah emas dan prinsip keadilan yang
memulihkan hukum yang diajarkan Yesus. (Baca I Korintus 13:13).
Apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus telah terwujudkan melalui hidup
dan pengorbanan-Nya. la mengajarkan-Nya supaya menjadi panduan hidup orang
percaya dan manusia pada umumnya, dalam suatu pola hidup baru, hidup yang telah
ditebus, dibaharui, dikuduskan dan bahkan disempurnakan melalui pengorbanan-Nya
itu. Dengan melakukan ajaran itu, maka orang percaya dipandu hidup dalam
persekutuan dengan Allah yang telah menebusnya dari pengaruh dan kuasa dosa.
Ajaran Yesus itu tidaklah berdiri sendiri. la menjadi bagian yang tidak
dipisahkan dari anugerah pengampunan-Nya.
Di
dalam sejarah Etika Kristen, hidup baru itu sering dirumuskan dengan “Mengikuti
Kristus”. Perumusan ini sangat penting. Karna dua macam sebab:
1.
Karna di dalam perumusan ini hubungan yang erat antara
hidup baru dan Yesus Kristus kelihatan sangat jelas. Di dalam berbagai perumusan tentang hidup
baru dan taurat. Di dalam perumusan “mengikuti Krristus” diterangkan hubungan
antara Yesus dan hidup baru. “Dialah Pokok anggur dan kita ranting-rantingnya
(Yohanes 15:1-8).
2.
Karna pengertian “mengikuti Kristus” jelas menerangkan
beberapa konsekwensi hdiup baru, yang tidak terdapat pada
istilah-istilah dan perumusan-perumusan lainnya. Perumusan ini juga menerangkan
adanya suatu macam situasi persengketaan antara hidup baru dan dunia,
persengketaan yang membawa,
kesengsaraan. Barangsiapa mengikuti Kristus, maka yang diikuti ialah Dia yang
dibuang dan disalibkan oleh dunia. Tetapi hanya sedikit perumusan tentang hidup
baru itu di sepanjang sejarah begitu sering disalahgunakan seperti perumusan
ini.
Oleh sebab itu, pertama-pertama kita selidiki apa yang dimaksudkan
dengan itu diterangkan di dalm sejarah gereja.
a.
Apakah maksud “mengikuti Kristus” menurut Alkitab ?
1.
Menurut Perjanjian Lama. Istilah “mengikuti” sudah sering
terdapat dalam kitab. Perjanjian Lama. Paling jelas dalam pergumulan antara
nabi Elia dan nabi-nabi Baal di bukit Karmel (1 Raja-Raja 18:20-46). Di situ
bangsa Israel disuruh memilih: “ Berapa
lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah,
ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia.
2.
Menurut
injil-injil. Di dalam kitab Perjanjian Baru ucapan-ucapan semacam itu dapat
kita dengar dari mulut Tuhan Yesus. Tuhan yang esa dan yang sesungguhnya
menyatakan diri di dalm Yesus. Dalam Yesus, Tuahn ada di tengah-tengah kita. Ia
tinggal di antara kita. Dan tiap-kali kita lihat, bahwa Yesus memanggil
orang-orang supaya mengikuti Dia.
“Ikuti aku”, itulah panggilan yang dipakai oleh Yesus untuk mengumpulkan
murid-muridnya. Panggilan itu tidak berarti, bahwa Yesus meminta muridnya-muridnya
supaya mereka meniru-meniru Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri
kepadaNya dan berjalan di jalan yang di-tempuhNya.
Keterangan yang paling jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan “Mengikuti
Kristus” terdapat dalam Injil Markus 8:34 dan 35 “Setiap orang yang mau
mengikuti Aku, ia harus menyangkalkan dirinya, memikul salibnya dan mengikuti
Aku. Karna barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan
nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karna Aku dan karna Injil ia
akan menyelamatkan.
Janji yang diberikan kepada kita bila mengikuti Yesus: keselamatan,
pertolongan. Barangsiapa “kehilangan” dirinya sendiri, jadi di dalam Kristus,
maka dialah yang mendapat hidup yang sesungguhnya. Apakah yang di tuntut dari
kita bila mengikuti Kristus? Menyangkal diri dan mengangkat salib di belakang Yesus.
Menyangkal diri adalah lawan mempertahankan diri. Mempertahankan diri
berarti: menjawab “ya” terhadap atau berbuat menurut tabiat-tabiat kita yang
jahat, berbuat menurut nafsu dan cacat. Menyangkal diri berarti: menjawab
“tidak” terhadap nafsu, cacat, dan dosa-dosa kita dan menjawab “ya” terhadap
Yesus, kehendakNya, kerajaannya. Adapun istilah “mengangkat salib” itu sama
dengan istilah “menyangkal diri”. Pada zaman Yesus hidup di dunia, apabila
tampak orang memikul salib, maka tahulah setiap orang: “orang itu dihukum mati.
Akan binasalah ia. Ia mengangkat (memikul) tanda hukum di atas bahunya”.
Menanggung salib berarti, menerima hukuman dari Tuhan atas tabiat kita yang
lama, berarti: mengakui dengan perkataan dan perbuatan, bahwa sudah sepantasnya
tabiat kita yang lama menerima upah hukuman amti yang telah ditanggun oleh
Yesus. Itu juga: mengikuti Yesus dan berdoa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai seorang mahasiswa kristen, perlu disadari bahwa perilaku
dan segala tindak tidakan terlepas dari pengamatan orang lain. Untuk itu,
mahasiswa harus dapat memberikan contoh yang baik atau panutan. Mahasiswa
diharapkan dapat menjadi “garam” atau “pelita” bagi masyarakat disekitarnya.
Menjadi garam artinya seorang mahasiswa dapat membuat kehidupan
sosial masyarakat menjadi damai dan sejahtera atau dengan kata lain dapat
memberikan cita rasa yang lebih baik. Menjadi pelita artinya sebagai seorang
mahasiswa dapat memberikan contoh atau menjadi terang sehingga dapat menjadi
panutan bagi orang lain agar tidak tersandung dalam permasalahan-permasalahan
yang akan merugikan diri sendiri atau orang lain.
Menjadi terang ataupun garam tersebut perlu didasari oleh ajaran
kristen, yaitu melakukan perbuatan untuk menjadi contoh yang baik bagi orang
lain dengan didasarkan pada kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih ada kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini.
Saya dan rekan kami banyak berharap para pembaca memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi rekan mahasiswa PAK pada khususnya juga para pembaca yang pada
umumnya.
DAFTAR ISI
Dr.
J. Verkuly. 1991. ETIKA KRISTEN BAGIAN
UMUM. Jakarta: Gunung Mulia